Upacara Adat Sulawesi Selatan
1. RAMBU TUKA
Pesona alam Tana Toraja memang terkenal sangat indah dan
asri, sehingga dijuluki objek wisata primadona, untuk di Sulawesi Selatan dan
Indonesia bagian Timur. Julukan ini pantas karena Tana Toraja sejak tahun 1960
telah dikenal oleh para tourist dari berbagai mancanegara. Selain keindahan
panorama alamnya yang indah dan udara yang sejuk, Tana Toraja juga memiliki
kesenian dan kerajinan tangan yang unik dan bernilai seni yang tinggi,
keramahtamahan penduduk dan kaya dengan tradisi budaya yang unik dan menarik,
seperti acara adat Rambu Solo, Rambu Tuka, dan salah satu ritual yang termasuk
langka di Tana Toraja yaitu Ma’Nene’, yaitu sebuah tradisi kegiatan ritual yang
dilaksanakan untuk mewujudkan rasa cinta kasih mereka kepada leluhurnya yang
sudah meninggal, dengan cara berkunjung ke pemakaman untuk membuka kembali
peti-peti mati leluhur mereka untuk mengganti sarung atau pakaian serta
menjemur mayat-mayat leluhur mereka.
Sejumlah warga menari Ma' Dondo menjelang prosesi Mangarara
Banua di Desa Kadundung, Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Kamis (21/8).
Mangarara Banua merupakan salah satu prosesi Rambu Tuka' yang berupa upacara
syukur pasca penggantian atap rumah adat Tongkonan. Sedangkan pada acara adat
Rambu Tuka' yaitu acara yang berhubungan dengan acara syukuran misalnya acara
pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau
yang baru selesai direnovasi. Acara ini menghadirkan semua rumpun keluarga,
dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua.
Upacara ini terkenal dengan nama Ma’Bua;, Meroek atau Mangrara Banua Sura’.
Tanah Toraja yang terletak sekitar 350 km sebelah Utara Makassar memang
memiliki sebuah bangunan atau rumah adat yang sangat terkenal dengan ke-khasan
bentuknya, yang bernama Tongkonan. Atapnya terbuat dari daun nipa atau kelapa
dan mampu bertahan sampai 50 tahun. Tongkonan ini juga memiliki strata sesuai
dengan derajat kebangsawanan masyarakat seperti strataemas, perunggu, besi dan
kuningan.
Sejumlah warga menari Ma' Dondo menjelang prosesi Mangarara
Banua di Desa Kadundung, Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Kamis (21/8).
Mangarara Banua merupakan salah satu prosesi Rambu Tuka' yang berupa upacara
syukur pasca penggantian atap rumah adat Tongkonan. Untuk upacara adat adat
Rambu Tuka' ini diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu
Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra',
Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'.
Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh
(tabu) ditampilkan pada acara adat ini.
1. ACCERA KALOMPONG
Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan
benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum Balla
Lompoa. Inti dari upacara ini adalah allangiri kalompoang, yaitu pembersihan
dan penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota
ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian
disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya. Adapun
benda-benda kerajaan yang dibersihkan di antaranya: tombak rotan berambut
ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua (lasippo), keris emas
yang memakai permata (tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja
yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-jangaya),
kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak ta‘roe), dan
kancing emas (kancing gaukang). Selain benda-benda pusaka tersebut, juga
ada beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla Lompoa turut
dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI;
tiga tombak emas; parang panjang (berang manurung); penning emas murni
pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M.; dan medali emas pemberian
Belanda.
Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci
yang diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para
peserta upacara yang dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar).
Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata tombak,
pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan minyak
wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya
disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh
masyarakat umum dengan syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara.
Upacara adat yang sakral ini pertama kali dilaksanakan
oleh Raja Gowa yang pertama kali memeluk Islam, yakni I Mangngarrangi
Daeng Mangrabbia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin pada tanggal 9 Jumadil
Awal 1051 H. atau 20 September 1605. Meskipun Raja Gowa XIV itu telah
memulainya, namun upacara ini belum dijadikan sebagai tradisi. Raja Gowa
XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid
Tumenanga Ri Papambatuna, mentradisikan upacara ini pada setiap tanggal
10 Zulhijjah, yakni setiap selesai shalat Idul Adha. Selanjutnya, Raja
Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomanggape Sultan
Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangkana yang bergelar Ayam Jantan dari
timur, memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam upacara ini, yakni penyembelihan
hewan kurban.
2. MAPPALILI
Mappalili adalah upacara mengawali musim tanam padi di
sawah. Ritual ini dijalankan oleh para pendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan
sebutan bissu. Selain di Pangkep, komunitas bissu ada di Bone, Soppeng, dan
Wajo. Ritual dipimpin langsung Seorang Bissu Puang Matoa.
Puang Matoa terlihat begitu berwibawa di antara bissu yang berkumpul di rumah arajang, yakni tempat pusaka berupa bajak sawah disemayamkan. Mengenakan kemeja bergaris dengan warna dominan putih, dipadu sarung putih polos dan songkok. Suara santun dan tegas selalu keluar dari mulutnya. Tak ada teriakan sedikit pun. Sebagai pengganti teriakannya, Puang Matoa menggunakan katto-katto, sejenis pentungan yang khusus untuk memanggil anak laki-laki, dan kalung-kalung, nama alat untuk memanggil anak perempuan.
Cukup memukul katto-katto tiga kali dan memberi kode. Meski
hanya memanfaatkan pelita, para bissu tetap mempersiapkan perlengkapan ritual.
Saidi, misalnya, membentuk simbol-simbol di atas daun sirih menggunakan beras
empat warna : masing-masing hitam simbol tanah, merah simbol api, kuning simbol
angin, dan putih simbol air. Ahmad Sompo, 43 tahun, Bissu Salassa Mangaji,
terlihat membuat pelita dari buah kemiri dan kapas yang dibalutkan pada
potongan bamboo. Setelah semua persiapan rampung, upacara pun digelar esok
hari.
Mappalili dimulai dengan upacara membangunkan arajang.
“Teddu’ka denra maningo. Gonjengnga’ denra mallettung. Mallettungnge ri Ale
Luwu. Maningo ri Watang Mpare. (Kubangunkan Dewa yang tidur. Kuguncang Dewa
yang terbaring. Yang berbaring di Luwu. Yang tertidur di Watampare),” kata
Puang Matoa, melagukan nyanyian untuk membangunkan arajang.
Nyanyian Puang Matoa kemudian disambung suara semua bissu yang terlibat dalam upacara Mappalili. “Tokkoko matule-tule. Matule-tule tinaju. Musisae-sae kenneng. Masilanre-lanre kenning. Musinoreng musiotereng. Musiassaro lellangeng. Mupakalepu lolangeng. Lolangeng mucokkongngie. Lipu muranrusie. (Bangkitlah dan muncul. Tampakkan wajah berseri. Menari-nari bersama kami. Bersama turun, bersama bangun. Bersama saling mengunjungi. Menyatukan tujuan. Negeri yang engkau tempati. Tanah tumpah darahmu).”
Nyanyian membangunkan arajang ada 10 lagu. Secara berurutan,
Puang Matoa menyanyikannya, setiap tembangnya diikuti sembilan bissu yang
terlibat dalam upacara. Bagian acara ini disebut matteddu arajang atau
membangunkan pusaka berupa bajak sawah. Konon, bajak ini ditemukan secara gaib
melalui mimpi. Puang Matoa mengatakan bajak dari kayu ini sudah ada sejak tahun
1330. Arajang tiap-tiap daerah ini berbeda. Di Pangkep berupa bajak sawah. Di
Soppeng berupa sepasang ponto atau gelang berkepala naga yang terbuat dari emas
murni. Sedangkan Bone dan Wajo, arajang-nya berupa keris.
3. TUDUNG ADE
Upacara Tukang Ade berarti upacara duduk secara adat dengan
anggota 110 orang. Maksud pengadaan upacara ini adalah: A. Memusyawarakan
hal-hal pentingnya menyangkut pemerintahan atau permasalahan yang dihadapkan
kerajaan untuk mencapai kesepakatan dan mufakat. Hal ini menunjukan bahwa Raja
Bone bukan seorang monarki absolut melainkan praktisi demokrasi, karena Raja
senantiasa melibatkan seluruh Dewan Kerajaan dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut kerajaan dan kepentingan rakyat. Upacara ini juga menunjukan bahwa
Raja Bone adalah seorang Raja yang murah hati dan ramah terhadap bawahan,
berkenan menjamu mereka dengan makanan ringan khas kerajaan, serta mau menerima
mereka secara adat B. Apabila kerajaan kedatangan tamu resmi dari kerajaan lain
dan dianggap layak untuk diterima secara adat.
4. UPACARA ADAT MA’NENE
Salah satu keunikan budaya di tanah Toraja, Sulawesi Selatan
yakni adanya upacara adat mengganti pakaian mayat para leluhurnya. Upacara ini
dikenal dengan nama, Ma'nene.
Dibilang unik dan khas, mengingat ritual Ma'nene dilakukan khusus oleh masyarakat Baruppu, di pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'nene dilakukan setiap 3 tahun sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus.
Dibilang unik dan khas, mengingat ritual Ma'nene dilakukan khusus oleh masyarakat Baruppu, di pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'nene dilakukan setiap 3 tahun sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus.
Mengapa pada bulan tersebut? Karena upacara Ma'nene hanya
boleh dilaksanakan setelah panen. Musim panen yakni jatuh pada bulan Agustus.
Masyarakat adat Toraja percaya jika ritual Ma'nene tidak
dilakukan sebelum masa panen, maka akan sawah-sawah dan ladang mereka akan
mengalami kerusakan dengan banyaknya tikus dan ulat yang datang tiba-tiba.
Sejarah ritual Ma'nene ini berawal dari seorang pemburu
binatang bernama Pong Rumasek, yang datang ke hutan pegunungan Balla. Saat itu,
Pong menemukan sebuah jasad manusia yang telah meninggal dunia dengan kondisi
yang cukup memprihatinkan. Oleh Pong, jasad itu dibawanya dan dikenakan pakaian
yang layak untuk dikuburkan di tempat aman.
Semenjak dari itu, Pong berturut-turut mendapatkan berkah. Tanaman
pertanian miliknya panen lebih cepat dari waktu biasanya. Saat dia berburu pun,
Pong kerap kali mendapatkan perburuannya dengan mudah. Dan saat berburu di
hutan, Pong sering bertemu dengan arwah yang dirawatnya yang kemudian arwah
tersebut ikut membantu dalam perburuan Pong sebagai petunjuk jalannya.
Dengan adanya peristiwa tersebut, Pong beranggapan bahwa
jasad orang yang telah meninggal sekalipun harus tetap harus dirawat dan
dihormati, meskipun jasad tersebut sudah tidak berbentuk lagi.
Pong lalu mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu. Dan
oleh penduduk Baruppu, amanah Pong tetap terjaga dengan terus dilaksanakannya
ritual Ma'nene tersebut.
Prosesi Ma'nene itu sendiri diawali dengan mengunjungi lokasi tempat dimakamkan para leluhur masyarakat setempat yakni di pekuburan Patane di Lembang Paton, Kecamatan Sariale, ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Para mayat leluhur mereka disimpan di dalam peti yang telah diberi pengawet.
Prosesi Ma'nene itu sendiri diawali dengan mengunjungi lokasi tempat dimakamkan para leluhur masyarakat setempat yakni di pekuburan Patane di Lembang Paton, Kecamatan Sariale, ibu kota Kabupaten Toraja Utara. Para mayat leluhur mereka disimpan di dalam peti yang telah diberi pengawet.
Sebelum dibuka dan di angkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal dengan nama Ne' Tomina Lumba, membacakan doa dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali dibaringkan di dalam peti tadi.
Selama prosesi tersebut, sebagian kaum lelaki membentuk
lingkaran menyanyikan lagu dan tarian yang melambangkan kesedihan. Lagu dan
gerak tarian tersebut guna untuk menyemangati para keluarga yang ditinggalkan.
Referensi:
http://tugas-makalahmu.blogspot.co.id/2015/02/upacara-adat-tradisional-di-sulawesi.html
http://tugas-makalahmu.blogspot.co.id/2015/02/upacara-adat-tradisional-di-sulawesi.html
Komentar
Posting Komentar